Tulisan berikut ini adalah merupakan bagian dari Bab Tinjauan Pustaka dari Karya Akhir saya yang berjudul "Analisis Pengaruh Manajemen Konflik Dan Kepuasan Kerja Pada Direktorat Jenderal Perkebunan - Kementerian Pertanian RI" pada tahun 2012 untuk syarat kelulusan Program Studi Magister Manajemen - Universitas Indonesia. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Manajemen Konflik
Pandangan
mengenai konflik ini telah berkembang lama, para peneliti meneliti mengenai
teori organisasi klasik seperti Fayol (1916/1949), Gulick & Urwick (1937),
Taylor (1911), Weber (1929/1947). Akan tetapi mereka secara implisit berasumsi
bahwa konflik itu merugikan efisiensi organisasi dan karena itu harus
diminimalkan dalam organisasi. Menurut Thompson (1998) dalam Rahim (2001),
Konflik merupakan sebuah persepsi perbedaan kepentingan di antara orang. Rahim
(2001) juga menegaskan dalam bukunya “Managing Conflict in Organization” bahwa
konflik adalah suatu hal yang tidak dapat terelakan di antara manusia ketika
dua atau lebih entitas sosial; seperti individu, grup, organisasi; yang timbul
dan bersentuhan satu sama lain dalam mencapai tujuan mereka, dimana hubungan
antar entitas tersebut dapat menjadi tidak konsisten ketika dua atau lebih dari
mereka menginginkan sumber daya serupa yang dalam pasokan pendek.
Menurut Robins dalam Wirawan (2009),
konflik adalah suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk
menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk
mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Irvine dalam Wirawan
(2009), Manajemen Konflik merupakan strategi dimana organisasi dan individu
bekerja untuk mengenali dan mengendalikan perbedaan-perbedaan, dengan cara
pengurangan biaya keuangan dan manusia dari kesulitan pengendalian konflik,
sementara keselarasan konflik sebagai sumber pembaharuan dan perkembangan.
Konflik
dapat terjadi pada hubungan interpersonal antara bawahan, atasan, maupun rekan
sepekerjaan dan di dalam sebuah intragrup dan hubungan intergrup pada sebuah
tempat kerja dan seluruh organisasi (Putnam & Wilson, 1982).
Pentingnya konflik dalam sebuah organisasi bermanfaat
untuk mengadakan sebuah perubahan atau inovasi dan menghasilkan pemecahan
persoalan yang lebih baik. Konflik juga menunjukkan dinamika sebuah organisasi.
Selain itu juga, dengan mengetahui konflik yang timbul dapat segera dicegah,
diarahkan bahkan dihilangkan. Dalam Rahim (2001) menyebutkan bahwa pandangan
mengenai konflik secara realistis dapat berpotensi menghasilkan suatu hal yang produktif maupun
yang menghancurkan (Assael, 1969; Deutsch, 1969; Jehn, 1997a; de Dreu & van
de Vliert, 1997; Kelly & Kelly, 1998; Pelled, Eisenhardt, & Xin, 1999).
Hasil fungsional dan disfungsional dari sebuah konflik dalam organisasi menurut
Rahim (2001) adalah:
a.
Hasil Fungsional
1.
Konflik dapat menstimulasi inovasi, kreatifitas, dan
perkembangan.
2.
Pembuatan keputusan organisasi dapat ditingkatkan.
3.
Solusi alternatif dari sebuah masalah dapat
dipecahkan.
4.
Konflik dapat mengarahkan kepada solusi yang sinergis
untuk masalah umum.
5.
Performa individu dan kelompok dapat ditingkatkan.
6.
Individu dan kelompok mungkin akan dipaksa untuk
mencari pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah.
7.
Individu dan kelompok dapat diminta untuk
mengartikulasikan dan mengklarifikasi posisi mereka.
b.
Hasil Disfungsional
1.
Konflik dapat menyebakan stress dalam bekerja,
kelelahan, dan ketidakpuasan.
2.
Komunikasi antar individu dan kelompok dapat
berkurang.
3.
Suasana ketidakpercayaan dan kecurigaan dapat
berkembang.
4.
Hubungan kerja menjadi rusak.
5.
Performa kerja menjadi menurun.
6.
Penolakan untuk berubah menjadi meningkat.
7.
Loyalitas dan komitmen pada organisasi dapat
berpengaruh.
Dikarenakan
oleh adanya dua sisi yang diakibatkan dari sebuah konflik, batasan dari suatu
kondisi yang fungsional dan disfungsional harus dijabarkan. Terdapat tiga
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini. Pendekatan pertama
adalah mengurangi atau menghindari konflik. Walaupun nilai dari konflik
tersebut didiskusikan secara terbuka ditekankan (Jehn, 1997; Simons &
Peterson, 2000). Para peneliti lainnya juga mendukung pendekatan ini bahwa
konflik harus diminimalisasi atau dihindari dalam tempat kerja ketika konflik
tersebut secara umum mempunyai konsekuensi yang negatif (cf. Jehn &
Bendersky, 2003). Dikarenakan konflik itu tidak dapat dihindari pada tempat
kerja, pendekatan ini dianggap tidak realistis (Leung & Tjosvold, 1998).
Pendekatan
kedua adalah untuk mendorong satu tipe konflik berada diatas tipe konflik yang
lainnya. Menurut Jehn (1995) mengidentifikasi konflik pada tugas dan konflik pada
hubungan sebagai dua tipe konflik utama dalam tempat kerja. Konflik pada tugas
terdiri dari beberapa pertentangan tentang pekerjaan dan perbedaan sudut
pandang dan ide-ide tentang topik yang menarik atau keputusan. Dan konflik pada
hubungan lebih kepada permasalahan personal dikarenakan oleh ketidakmampuan
dalam kepribadian dan perilaku karyawan. Konflik pada tugas dapat menghasilkan
hasil yang positif, sedangkan konflik pada hubungan dapat menghasilkan hasil
yang negatif (Jehn & Bendersky, 2003; Simons & Peterson, 2000).
Walaupun konflik pada tugas dapat menjadi penyebab konflik pada hubungan atau
sebaliknya, hal tersebut tidak secara praktis dikatakan layak untuk mendorong
konflik pada tugas sementara hal tersebut tidak mendorong konflik pada hubungan
(Simons & Peterson, 2000).
Pendekatan ketiga adalah mengelola konflik. Jika
konflik tersebut dikelola dengan cara yang sesuai, akan menghasilkan hasil yang
menguntungkan (Chen, Liu, & Tjosvold, 2005; DeChurch & Marks, 2001; De
Dreu & Weingart, 2003; Pondy, 1992; Putnam & Wilson, 1982). De Dreu dan
Weingart (2003) menunjukkan pentingnya manajemen konflik dalam kelompok kerja.
De Dreu dan Beersma’s (2005) juga berkomentar tentang karya ilmiah negara
“disayangkan” hasilnya karena kurangnya perhatian pada pengaruh manajemen
konflik terhadap hasil yang “lunak” seperti kepuasan, kesejahteraan dan
kesehatan.
Klasifikasi Konflik
Menurut
Rahim (2001) dalam bukunya konflik dapat diklasifikasikan kedalam beberapa
kelas konflik berdasarkan kondisi antecedant
yang menyebabkan konflik tersebut. Konflik berasal dari beberapa sumber,
seperti task, nilai, tujuan, dan
seterusnya. Untuk itu Rahim (2001) mengklasifikasikan konflik itu kedalam
beberapa source of conflict, yaitu:
1.
Affective
conflict, kondisi ini terjadi antara dua entitas sosial berinteraksi ketika sedang
mencoba mencari solusi dari sebuah permasalahan secara bersama-sama, dimana
secara psikologis berpengaruh terhadap perasaaan dan emosi mereka dalam proses
pemecahaan sebuah problem yang ada maupun semua permasalahan yang ada. Oleh
karena itu, Rahim (2001) juga menyebutkan bahwa klasifikasi konflik ini kedalam
psychological conflict (Ross &
Ross ,1989, p.139), relationship conflict
(Jehn, 1997a), emotional conflict (Pelled,
Eisenhardt, & Xin, 1999), dan interpersonal
conflict (Eisenhardt, Kahwajy, & Bourgeois, 1997).
2.
Substantive
conflict, kondisi ini terjadi ketika dua atau lebih anggota organisasi tidak
sepakat dalam pekerjaan mereka atau dari permasalahan yang ada (Guetzkow &
Gry, 1954). Klasifikasi konflik ini juga telah dikenal sebagai task conflict (Eisenhardt et al., 1997;
Jehn, 1997a; Pelled et al., 1999), cognitive
conflict (Amason, 1996; Cosier & Rose, 1977; Holzworth, 1983) dan issue conflict (Hammer & Organm
1978). Rahim (2001) menyimpulkan juga bahwa substantive
conflict ini lebih bersifat kepada task
atau masalah bisnis yang terkait dalam sebuah kondisi.
3.
Conflict of
Interest, kondisi konflik ini lebih menggambarkan sebuah inconsistency antara dua kelompok dalam mengutarakan preferensi
mereka kedalam sebuah resource. Tipe
konflik ini sering terjadi ketika setiap kelompok berbagi kesepahaman bersama,
mereka lebih suka pada hal yang berbeda sehingga solusinya tidak sesuai dengan
masalah yang ada baik itu dalam masalah distribusi sumber daya ataupun
keputusan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut (Druckman &
Zechmeister, 1973).
4.
Conflict of
Value, kondisi ini terjadi ketika dua entitas sosial memiliki perbedaan nilai
dan ideologi dalam suatu permasalahan (Druckman, Broome, & Korper, 1988).
Tipe konflik ini biasa disebut dengan ideological
conflict.
5.
Goal
conflict, konflik ini terjadi apabila hasil yang diinginkan dari dua entitas sosial
tidak konsisten. Contohnya adanya pengertian dari dua orang manajer dalam
menentukan desain pekerjaan yang akan diimplementasikan pada divisi mereka
(Rahim, 2001).
6.
Realistic
versus Nonrealistic Conflict, keadaan yang tidak realistis dalam
konflik menurut Rahim (2001) merupakan hasil dari kebutuhan sebuah kelompok
untuk melepaskan tensi dan mengekspresikan permusuhan, ketidakpedulian. Sedangkan
konflik realistis di asosiasikan dengan hal yang rasional atau orientasi pada
hasil.
7.
Institutionalized
versus Noninstitutionalized Conflict, konflik ini awalnya memiliki
karakteristik berdasarkan situasi dimana pelakunya mengikuti aturan yang explisit
dan menampilkan perilaku yang dapat diprediksi dan hubungannya secara kontinu
(Rahim, 2001).
8.
Retributive
Conflict, karakteristiknya berdasarkan situasi dimana pihak yang bertentangan merasa
perlu untuk memperpanjang konflik tersebut kepada lawannya. Dengan kata lain,
masing-masing kelompok menentukan kenaikannya dengan cara menimbulkan biaya
pada kelompok lainnya (Saaty, 1990, p.49).
9.
Missatributed
Conflict, konflik ini berhubungan dengan penetapan yang salah atas penyebab yang
menimbulkan konflik (Deutsch, 1977).
Displaced
Conflict, tipe konflik ini terjadi
ketika kelompok yang bertentangan baik itu secara langsung merasa frustasi
kepada entitas sosial yang tidak terkait dalam konflik ini (Deutsch, 1977).
Level Konflik
Menurut
Rahim (2001) konflik organisasional terdapat beberapa level yaitu konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intragroup, konflik intergroup.
Konflik
intrapersonal ini juga dikenal sebagai konflik intra-individual atau
intra-psikis. Konflik ini terjadi ketika anggota organisasi yang diharuskan
untuk melakukan sebuah pekerjaan yang tidak sesuai dengan role, keahlian, value dan tujuan orang tersebut (Rahim,
2001).
Konflik
interpersonal dikenal sebagai dyadic
conflict yang merupakan konflik antara dua atau lebih individu dalam
organisasi yang sama atau hirarki atau unit yang berbeda. Contohnya konflik
antara atasan dan bawahannya (Rahim, 2001).
Konflik
intragroup dapat dikenal sebagai konflik intra-departemen yang artinya konflik
yang terjadi diantara anggota grup dalam organisasi, dua atau lebih sub-grup di
dalam sebuah grup yang dihubungkan dengan hasil pekerjaan, tugas, prosedur, dan
seterusnya. Beberapa konflik ini disebabkan oleh sebuah hasil dari
ketidakmampuan dan ketidaksepahaman antar beberapa anggota organisasi atau
seluruh anggota dan pemimpin grup tersebut (Rahim, 2001).
Konflik intergrup atau yang lebih dikenal dengan
konflik inter-departemen merupakan konflik yang terjadi antara dua atau lebih
unit atau grup didalam organisasi. Contohnya adalah konflik antara pihak
manajemen dan pekerja, bagian produksi dan pemasaran, bagian keuangan dan
operasi. (Rahim, 2001).
Gaya Penanganan Konflik
Dalam
menangani sebuah konflik menurut Rahim dan Bonoma terdapat lima gaya yang
dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi konflik tersebut yaitu integrating, obliging, dominating, avoiding dan compromising. Hal ini dapat terlihat
pada Gambar 2.1 sebuah Two-Dimensional
Model dalam menghadapi konflik interpersonal.
1. Avoiding
Style
Dalam karya
doktoral I. A. Williams Ana Williams (2011) menjelaskan bahwa gaya manajemen konflik ini berarti orang
tersebut mengetahui adanya konflik dan tindakan yang dilakukannya cenderung
mengabaikan konflik tersebut (Robbins & Judge, 2010; Starks, 2006). Dengan
menghindari konflik karyawan akan tetap dihadapkan dengan masalah tersebut dan
tidak akan menemui jalan keluar untuk penyelesaian dari masalah tersebut (Lam
et al., 2007). Gaya manajemen konflik ini memiliki tingkat concern for others yang rendah dan tingkat concern for self yang rendah juga. Hal ini menyebabkan karyawan
tersebut pada situasi “lose-lose” (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007;
Rahim, 2004). Gaya avoidance ini juga
dapat menstimulasi masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dan dipecahkan
sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Gitlow & McNary,
2006). I. A. Williams juga menjelaskan bahwa menurut Starks gaya avoidance ini cepat dalam menyelesaikan
permasalahan akan tetapi resolusi yang dihasilkan sifatnya sementara dan
berpotensi untuk dapat berkembang lebih besar permasalahannya (Starks, 2006).
Menurut Rahim
(2001), gaya manajemen konflik ini diasosiasikan dengan penarikan diri, tidak
bertanggung jawab, menghindar dari masalah. Hal ini menyebabkan seseorang untuk
menunda-nunda masalah sampai pada waktu yang lebih baik, atau hanya menghindar
dari situasi yang tidak nyaman bagi dirinya. Gaya avoiding ini sering kali dikarakteristikkan sebagai perilaku yang
tidak peduli terhadap issue dan
konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi.
Kreitner &
Kinicki (2010, p.388) juga mengemukakan bahwa gaya menghindar ini merupakan
sebuah taktik yang mungkin melibatkan baik itu penarikan diri secara pasif dari
permasalahan atau aktif dalam masalah tersebut. Gaya ini sungguh tepat
dilakukan untuk permasalahan yang sepele atau ketika biaya konfrontasi lebih
besar daripada manfaat dari penyelesaian konflik tersebut. Gaya ini juga tidak
tepat digunakan untuk permasalahan yang sulit dan yang dapat memperburuk
masalah. Keunggulan utama dari gaya ini adalah bahwa gaya ini menunda waktu atau
situasi yang ambigu. Kelemahan utamanya adalah bahwa taktis ini hanya
menawarkan solusi yang temporer dan mengenyampingkan inti permasalahannya.
2. Compromising Style
Menurut
I. A. Williams (2011), gaya manajemen konflik ini memiliki definisi sebagai
suatu situasi ketika setiap kelompok yang berkonflik sepakat pada beberapa isu
yang dihasilkan berdasarkan hasil kompromi (Robbins & Judge, 2010; Starks,
2006). Bekerja dalam sebuah kelompok atau tim itu sulit ketika sebuah konflik
muncul. Salah satu metode untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan dapat
diterima oleh semua pihak dalam sebuah kelompok adalah dengan cara
mengkompromikan masalah tersebut hingga ada kata sepakat. Tim ini mampu
bersinergi dan meningkatkan kerjasama tim dan menjadi produktif (Choudrie,
2005). Starks (2006) juga berpendapat bahwa gaya manajemen konflik ini dapat
menghasilkan kepuasan sebuah kelompok, namun di lain pihak, permasalah tersebut
dapat diabaikan. Gaya kompromi ini menunjukkan suatu kepedulian yang menengah
pada diri sendiri dan orang lain sehingga menghasilkan situasi “no win – no lose” (K. W. Chan et al.,
2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004). Pendekatan compromising ini tidak efektif digunakan dalam studi pada
bidang manufaktur dalam menciptakan pengembangan
produk baru (Lam et al., 2007).
Menurut
Rahim (2001) gaya compromising ini
melibatkan give and take atau berbagi
dimana kedua belah pihak memberikan sesuatu untuk membuat keputusan yang dapat
diterima bersama. Ini mungkin berarti membagi perbedaan, pertukaran konsesi,
atau mencari jalan tengah dengan cepat.
Kreitner
& Kinicki (2010, p.388) juga mengemukakan bahwa gaya ini cocok digunakan
ketika pihak yang berkonflik memiliki tujuan yang bertolak belakang atau
menginginkan kekuatan yang sama. Tetapi gaya ini tidak cocok digunakan ketika
dilakukan secara berlebihan dapat mendorong terjadinya ketidaksepakatan
bersama, contohnya adalah gagal menemukan tenggak waktu yang penting.
Keunggulan utama dari gaya ini adalah bahwa kompromi tidak ada yang merasa
dikalahkan atau dirugikan, tetapi solusinya bersifat temporer yang dapat menahan
pemecahan masalah secara kreatif.
3. Dominating
Style
Dalam
I. A. Williams (2011), dominating style didefinisikan sebagai ketika pihak
yang bersaing ingin berkuasa melalui paksaan terhadap pihak lain dan pihak
tersebut mengalah (Starks, 2006). Gaya dominating
ini termasuk kedalam kelompok concern
for self yang tinggi dan concern for
others yang rendah sehingga menghasilkan sebuah hasil yang “win-lose” (K. W. Chan et al., 2008; Lam
et al., 2007; Rahim, 2004). Seseorang yang menggunakan gaya dominasi ini
biasanya mengetahui performa rekan kerjanya. Mereka akan berusaha mengungguli
rekan kerja mereka, sehingga mereka akan mengatasi konflik sebagai sebuah kompetisi
bagi mereka. Oleh karena itu, orang akan melihat orang yang menggunakan gaya
dominasi ini lebih sering berargumen dibanding menyatakan sebuah fakta (I. A.
Williams, 2011).
Menurut
Rahim (2001), orang yang mendominasi atau berkompetisi akan mengeluarkan segala
kemampuannya untuk memenangkan obyektif dia dan sebagai hasilnya adalah sering
mengabaikan kebutuhan dan harapan yang inginkan oleh pihak lainnya. Dominasi
dapat memiliki arti sebagai berpegang teguh pada hak seseorang dan atau
mempertahankan posisi pihak tersebut bahwa mereka adalah benar. Terkadang orang
yang mendominasi ingin selalu menang dengan cara apapun. Seorang atasan yang
mendominasi akan menggunakan kekuatan posisi dia untuk mempengaruhi keinginan
bawahannya dan memerintahkan bawahannya untuk patuhi keinginannya.
Kreitner
& Kinicki (2010, p.387) mengemukakan bahwa gaya manajemen konflik ini
disebut forcing karena hal itu
bergantung pada wewenang formal untuk memaksakan kepatuhan. Dominasi biasa
digunakan ketika solusi yang tidak populer harus diimplementasikan, isu yang
minor, tenggak waktu yang sudah dekat, atau menghadapi krisis. Kelemahan utama
dari gaya dominasi ini biasanya menimbulkan kebencian.
4. Integrating
Style
Menurut
I. A. Williams (2011) apabila karyawan dapat mengintegrasikan konflik yang ada
di dalam tempat kerja akan menimbulkan suasana kerja yang menyenangkan. Setiap
permasalahan proyek melibatkan penyelesaian masalah dan menemukan keinginan
yang diinginkan oleh karyawan dan pelanggan. Gaya mengelola konflik dalam kelompok
yang paling sesuai adalah gaya integrasi. Gaya ini didefinisikan sebagai ketika
setiap orang berkolaborasi dan semuanya keinginan terpenuhi (Starks, 2006).
Para peneliti juga setuju bahwa gaya manajemen konflik integrasi dalam tempat
kerja memungkinkan pegawai untuk memberikan ide-ide kreatif yang lebih dan
solusi dari permasalahan tersebut (Guttman, 2009; Rahim 2004).
Menurut
I. A. Williams (2011), dalam sebuah studi terhadap staf perawat rumah sakit,
gaya manajemen konflik kooperatif atau integrasi adalah salah satu cara untuk
diasosiasikan dengan kepuasan kerja (Montoro-Rodriguez & Small, 2006). Gaya
manajemen konflik ini dapat memberikan kontribusi yang efektif untuk top management teams dan inovasi
organisasi (Tjosvold, 2006). Oleh karena itu, gaya integrasi ini menghasilkan
hasil yang “win-win” dan menunjukkan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang
lain yang tinggi (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004).
Karakteristik
seseorang yang menggunakan gaya integrasi ini adalah dia menginvestigasi sebuah
permasalahan untuk mencari solusinya kepada semua pihak (Rahim, 1983).
Menurut
Rahim (2001), integrasi disebut juga sebagai gaya yang mencari solusi dari
permasalahan. Hal ini melibatkan kolaborasi dari setiap pihak seperti
keterbukaan, pertukaran informasi, pemeriksaan perbedaan-perbedaan untuk
mendapatkan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Follet
(1926/1940) juga menegaskan bahwa aturan pertama untuk melakukan integrasi
adalah mengesampingkan permasalahan anda terlebih dahulu, hadapi permasalahan
utama, mengungkap konflik, bawa semua hal lebih terbuka untuk dibicarakan
(Rahim, 2001).
Gray
(1989) menggambarkan hal ini sebagai mengkolaborasikan yaitu sebuah proses yang
melalui dimana setiap pihak yang melihat dari sudut pandang yang berbeda secara
kontrukstif mengeksplorasikan perbedaan mereka dan mencari solusi yang melebihi
batas padangan mereka sendiri tentang apa yang bisa didapat (Rahim, 2001).
Kreitner
& Kinicki (2010, p.386) mengemukakan bahwa pihak yang berkepentingan
menghadapi masalah dan kooperatif untuk mengidentifikasi masalah, menghasilkan
dan mempertimbangkan solusi alternatif, pilih solusi tersebut. Gaya manajemen
konflik sesuai digunakan untuk masalah yang kompleks yang mengandung
kesalahpahaman. Akan tetapi, mengintegrasikan tidak sesuai digunakan untuk
menyelesaikan konflik yang berakar dalam menentang sistem.
5. Obliging
Style
Menurut I. A.
Williams (2011), gaya manajemen konflik seperti ini didefinisikan sebagai suatu
situasi dimana satu kelompok mengatur kepentingan mereka untuk memuaskan atau
mengakomodasi kelompok lain (Starks, 2006). Gaya konflik untuk bersedia
membantu ini menunjukkan kepedulian terhadap diri sendiri rendah dan kepedulian
terhadap orang lain yang tinggi sehingga menghasilkan situasi yang “lose-win” (K. W. Chan et al., 2008; Lam
et al., 2007; Rahim, 2004).
Menurut Rahim
(2001), gaya konflik ini disebut juga sebagai gaya yang mengakomodasikan
konflik. Gaya seperti ini diasosiasikan dengan berusaha untuk mengecilkan
perbedaan dan menekankan kesamaan untuk memenuhi kepedulian dari pihak lain.
Kreitner &
Kinicki (2010, p.387) mengemukakan bahwa orang yang mengakomodasikan masalah
mengabaikan kekhawatiran dirinya sendiri untuk memenuhi keprihatinan orang
lain. Gaya manajemen konflik yang biasa disebut smoothing ini melibatkan perasaan yang mengecilkan perbedaan
sementara dengan menekankan kesamaan. Gaya ini sesuai digunakan sebagai strategi
penanganan konflik ketika masalah tersebut memungkinkan untuk mendapatkan
sesuatu sebagai imbalan pada akhirnya. Akan tetapi tidak sesuai digunakan untuk
permasalahan yang kompleks atau yang memperburuk masalah.
Literatur
mengenai konflik telah banyak menggunakan paradigma lima gaya tersebut diatas,
tetapi hal ini telah diuji secara empiris sulit untuk membedakan antara gaya
integrasi, obliging, dan kompromi
(cf., Weider-Hatfield, 1988). Pada tingkat makro, integrasi, obliging, dan kompromi mungkin
menunjukkan bahwa semua itu berkolaborasi dengan pihak lain seperti gaya
kooperatif (De Dreu & Van de Vliert, 1997). Berbeda dengan gaya menghindari
dan mendominasi, mengelola konflik dengan berkolaborasi dengan integrasi,
membantu dan/atau kompromi dapat menyebabkan keefektifan individu dan tim lebih
besar (De Dreu & Van de Vliert, 1997).
Referensi :
Al-Ajmi, R. S. (2007). “The effect
of personal characteristics on conflict management style”. Competitive Review: An International Business Journal, 17(3),
181-192.
As’ad Mohammad.
(2003). Psikologi Industri, Seri Ilmu
Sumber Daya Manusia. Edisi Empat. Yogyakarta: Liberty.
Assael, H.
(1969). Constructive role of interorganizational conflict. Administrative Science Quarterly, 573-82.
Baron, R. A.,
& Byrne, D. (1994). Social psychology:
Understanding human interaction (7th ed.). Boston: Allyn & Bacon. (A
Division of Simon & Schuster, Inc).
Beersma, B.,& De Dreu, C.K. W.
(2005). “Conflict's consequences: Effects of social motives onpost-negotiation
creative and convergent group functioning and performance”. Journal of Personality and Social Psychology,
89, 358-374.
Chan, K. W., Huang, X., & Ng, M. P.
(2008). “Managers’ conflict management styles and employee attitudinal
outcomes: The mediating role of trust. Asia
Pacific Journal of Management, 25, 277-295.
Chen, G., Liu,
C., & Tjosvold, D. (2005). “Conflict Management for Effective Top
Management Teams and innovation in China”. Journal
of Management Studies. 42(2), p.277-300.
Choudrie, J.
(2005). “Understanding the role of communication and conflict on reengineering
team development”. Journal of Enterprise
Information Management, 18(1/2), 64-78.
De Dreu, C. K.
W., & Van de Vliert, E. (1997). Using
conflict organizations. London: Sage.
De Dreu, C. K.
W., & Weingart, L. (2003). “Task versus relationship conflict, team
performance, and team member satisfaction: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 88,
741-749.
DeChurch, L. A.,
& Marks, M. A. (2001). “Maximizing the benefits of task conflict: The role
of conflict management. The International
Journal of Conflict Management. 12, 4-22.
Deutsch, M.
(1969). ”Conflicts: Productive and destructive”. Journal of Social Issues, 25(1), 7-41.
Gitlow, H.,
McNary, L. (2005). “Creating Win-win solutions for Team conflicts”. The Journal for Quality & Participation.
29(3). 20-26.
Gibson, J.,
Ivancevich, J., Donnelly Jr., J., & Konopaske, R. (alih bahasa Djarkasih)
(1995). Organisasi: Perilaku, Struktur,
Proses. Erlangga. Jakarta.
Gutmann, H. M.,
(2009). “Conflict management as a core competency for HR professionals. People and Strategy, 32(1), 32-39.
Hasibuan, Malayu
S. P. (2005). Manajemen Sumber Daya
Manusia. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Jehn, K. A. (1995).
“A multimethod examination of the benefits and determinants of intragroup
conflict. Administrative Science
Quarterly, 40, 256-282.
Jehn, K. A.
(1997a). “A qualitative analysis of conflict types and dimensions in
organizational groups. Administrative
Science Quarterly, 42, 530-557.
Jehn, K. A.,
& Bendersky, C. (2003). “Intragroup conflict in organizations: A contogency
perspective on the conflict-outcome relationship. Research in Organizational Behaviour, 25, 187-242.
Karn, J. S.,
& Crawling, A. J. (2008). “Measuring the effect of conflict on software
engineering teams. Behavior Research
Methods,40(2), 582-589.
Kelly, J., &
Kelly, L. (1998). An existential-systems
approach to managing organizations. Westport, CT: Quorum.
Kreitner, R.,
& Kinicki, A. (2010). Organizational
Behavior. New York: McGraw-Hill.
Lam, P. K.,
Chin, K. S., & Pun, K. F. (2007). “Managing conflict in collaborative new
product development: A supplier perspective. International Journal of Quality and Reliability Management. 24(9),
891-907.
Leung, K., &
Tjosvold, D. (1998). “Conflict for doing business in the Pacific Rim”. In K.
Leung & D. W. Tjosvold (Eds.), Conflict
management in the Asia Pacific. Singapore: Wiley.
Montoro-Rodriguez,
J., & Small, J. A. (2006). “The Role of Conflict Resolution Styles on
Nursing Staff Morale, Burnout, and Job Satisfaction in Long-Term Care”. Journal of Aging and Health, 18,
385-406.
Pelled, L. H.,
Eisenhardt, K. M., & Xin, K. R. (1999). “Exploring the black box: An
analysis of work group diversity, conflict, and performance”. Administrative Science Quarterly, 44,
1-28.
Pondy, L.
(1992). “Reflections on Organizational conflict. Journal of Organizational Behavior, 25, 261-284.
Putnam, L. L.,
& Wilson, C. E. (1982). Communicative strategies in organizational
conflicts: Reliability and validity of a measurement scale. In M. Burgoon
(Ed.), Communication Yearbook (Vol.
6, pp. 629-652). Beverly Hills, CA: Sage.
Rahim, M. A.
(1983). “A measure of styles of handling interpersonal conflict. Academy of Management Journal, 26,
368-376.
Rahim, M. A.
(2001). Managing Conflict in
Organizations (3rd ed.).
Westport, London: Quorum Books.
Rahim, M. A.
(2004). Rahim Organizational conflict
inventories professional manual. (2nd ed.). Bowling Green, KY: Center for
Advanced Studies in Management.
Robbins, S. P.,
& Judge, T. A. (2010). Organizational
behavior (14th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall.
Simons, T.,
& Peterson, R. (2000). “Task conflict and relationship conflict in top
management teams: The pivotal role of intragroup trust”. Journal of Applied Psychology, 85, 102-111.
Starks, G. L.
(2006). “Managing conflict in public organizations. Public Manager, 35(4), 55-60.
Thomas, K. W.
(1976). Conflict and Conflict management. In M. D. Dunnette (Ed.). Handbook of industrial and organizational psychology (pp. 889-935).
Chicago: Rand McNally.
Thomas, K. W.,
& Schimdt, W. H. (1976). “A survey of managerial interest with respect to
conflict. The Academy of Management
Journal, 19, 315-318.
Tjosvold, D.
(2006). “Defining conflict and making choices about its management: Lightening
the dark side of organizational life”. International
Journal of Conflict Management. 17(2), 87-95.
Weider-Hartfield,
D., & Hartfield, J. (1995). “Relationships among conflict management
styles, levels of conflict, and reactions to work”. Journal of Social Psychology, 135(6), 687-698. ProQuest.
Williams, I. A.
(2011). Conflict
management styles and job satisfaction by organizational level and Status in a
Private University.
UMI number 3492567. ProQuest LLC.
Wirawan (2009). Conflict Management. Jakarta: Salemba
Humanika.
Raditya, D. (2012). Analisis Pengaruh Manajemen Konflik dan Kepuasan Kerja pada Direktorat Jenderal Perkebunan - Kementerian Pertanian RI. Jakarta: Magister Manajemen Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar