Laman

Populer Post

Selasa, 30 Juni 2015

Rasa Bersyukur

Apalah arti hidup tanpa bersyukur kepada Sang Pencipta?
Itu adalah pertanyaan yang kayaknya pas ditanyakan ke orang-orang yang memiliki paham liberalis. Kadang gw gagal paham dengan konsep-konsep pemikiran seperti itu. Hidup bebas dan mencampur-adukkan agama dengan akal sehat manusia yang tingkatannya berbeda-beda dari setiap orang.

Lalu kaitannya dengan pertanyaan diatas apa dong? Tentu saja ada kaitannya.

Gw beragama Islam, dan pemahaman agama gw masih terus belajar dan belajar. Dengan majunya jaman dan perkembangan dunia informasi sangatlah pesat. Pola pikir dan karakter orang beradaptasi dengan perkembangan jaman ini. Saat ini orang gampang sekali menilai sumber-sumber informasi tidak valid. Dan para penyebar informasi juga gampang sekali membuat berita dan informasi yang belum tentu kebenarannya dan kadang gak didukung dengan sumber yang jelas. Yang akhirnya bisa menyebabkan fitnah massal. Akhirnya membentuk opini masyarakat yang negatif. Pemikiran positif telah ditinggalkan dan dianggap hal yang biasa. Pemikiran yang out of the box dan radikal dianggap keren. Pemikiran out of the box disini adalah pemikiran yang lebih melihat akal sehat dan hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat tanpa batasan. Mementingkan toleransi antar manusia dibanding toleransi kepada Sang Pencipta. Pemikiran-pemikiran ini lebih bersifat duniawi dan hubungan antar manusia saja dan mengesampingkan hubungan dengan Sang Pencipta.

Pemikiran liberalis inilah yang membuat para umat menjadi kebablasan dan melenceng jauh ke antah berantah dan akhirnya kita tersesat oleh pemikiran kita sendiri. Kalo udah begini kita akan terus disesatkan oleh Allah SWT.

Holy Quran 2:26
------------------
۞ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,

Holy Quran 2:27
------------------
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.

Kita seharusnya berhati-hati dalam pemikiran kita dan menjalani hidup ini agar kita tidak merugi di dunia yang fana ini. Seperti yang digambarkan di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 26-27 tersebut.

Jika kita memang beragama Islam dan telah mengucapkan syahadah dan terus kita menjalani hidup ini dengan cara yang liberalis tersebut artinya kita telah melanggar sumpah dan perjanjian yang telah kita buat dengan Sang Pencipta. Dua kalimat syahadah itu sendiri artinya adalah sumpah bahwa kita bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi Muhammad adalah utusan rasul-Nya. Makna dan pengertian dari syahadah tersebut sudah jelas. Jika kita memang telah bersumpah seperti itu dan kita selanjutnya ingkar dengan sumpah kita untuk mejalani perintah-Nya maka kita tergolong orang-orang yang fasik.

Perintah-perintah Allah sudah jelas juga di dalam Al-Quran dan tata caranya juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist-hadist yang shahih tinggal kita baca, pahami, lakukan. Kalo kita mangkir dan merasa tidak sepaham dengan apa yang telah ditentukan, lalu bagaimana caranya kita bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan buat kita.

Holy Quran 3:193
------------------
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا ۚ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.

Mohon maaf apabila ada salah kata dan salah pemahaman, karena gw juga masih fakir dalam pemikiran yang Islami. Wallahualam.

Semoga bermanfaat.
Didit R
-30062015-

Senin, 22 Juni 2015

Manajemen Konflik ( Conflict Management )

Tulisan berikut ini adalah merupakan bagian dari Bab Tinjauan Pustaka dari Karya Akhir saya yang berjudul "Analisis Pengaruh Manajemen Konflik Dan Kepuasan Kerja Pada Direktorat Jenderal Perkebunan - Kementerian Pertanian RI" pada tahun 2012 untuk syarat kelulusan Program Studi Magister Manajemen - Universitas Indonesia. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
 
Manajemen Konflik
 
Pandangan mengenai konflik ini telah berkembang lama, para peneliti meneliti mengenai teori organisasi klasik seperti Fayol (1916/1949), Gulick & Urwick (1937), Taylor (1911), Weber (1929/1947). Akan tetapi mereka secara implisit berasumsi bahwa konflik itu merugikan efisiensi organisasi dan karena itu harus diminimalkan dalam organisasi. Menurut Thompson (1998) dalam Rahim (2001), Konflik merupakan sebuah persepsi perbedaan kepentingan di antara orang. Rahim (2001) juga menegaskan dalam bukunya “Managing Conflict in Organization” bahwa konflik adalah suatu hal yang tidak dapat terelakan di antara manusia ketika dua atau lebih entitas sosial; seperti individu, grup, organisasi; yang timbul dan bersentuhan satu sama lain dalam mencapai tujuan mereka, dimana hubungan antar entitas tersebut dapat menjadi tidak konsisten ketika dua atau lebih dari mereka menginginkan sumber daya serupa yang dalam pasokan pendek.
Menurut Robins dalam Wirawan (2009), konflik adalah suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Irvine dalam Wirawan (2009), Manajemen Konflik merupakan strategi dimana organisasi dan individu bekerja untuk mengenali dan mengendalikan perbedaan-perbedaan, dengan cara pengurangan biaya keuangan dan manusia dari kesulitan pengendalian konflik, sementara keselarasan konflik sebagai sumber pembaharuan dan perkembangan.
Konflik dapat terjadi pada hubungan interpersonal antara bawahan, atasan, maupun rekan sepekerjaan dan di dalam sebuah intragrup dan hubungan intergrup pada sebuah tempat kerja dan seluruh organisasi (Putnam & Wilson, 1982).
Pentingnya  konflik dalam sebuah organisasi bermanfaat untuk mengadakan sebuah perubahan atau inovasi dan menghasilkan pemecahan persoalan yang lebih baik. Konflik juga menunjukkan dinamika sebuah organisasi. Selain itu juga, dengan mengetahui konflik yang timbul dapat segera dicegah, diarahkan bahkan dihilangkan. Dalam Rahim (2001) menyebutkan bahwa pandangan mengenai konflik secara realistis dapat berpotensi  menghasilkan suatu hal yang produktif maupun yang menghancurkan (Assael, 1969; Deutsch, 1969; Jehn, 1997a; de Dreu & van de Vliert, 1997; Kelly & Kelly, 1998; Pelled, Eisenhardt, & Xin, 1999). Hasil fungsional dan disfungsional dari sebuah konflik dalam organisasi menurut Rahim (2001) adalah:
a.       Hasil Fungsional
1.      Konflik dapat menstimulasi inovasi, kreatifitas, dan perkembangan.
2.      Pembuatan keputusan organisasi dapat ditingkatkan.
3.      Solusi alternatif dari sebuah masalah dapat dipecahkan.
4.      Konflik dapat mengarahkan kepada solusi yang sinergis untuk masalah umum.
5.      Performa individu dan kelompok dapat ditingkatkan.
6.      Individu dan kelompok mungkin akan dipaksa untuk mencari pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah.
7.      Individu dan kelompok dapat diminta untuk mengartikulasikan dan mengklarifikasi posisi mereka.
b.      Hasil Disfungsional
1.      Konflik dapat menyebakan stress dalam bekerja, kelelahan, dan ketidakpuasan.
2.      Komunikasi antar individu dan kelompok dapat berkurang.
3.      Suasana ketidakpercayaan dan kecurigaan dapat berkembang.
4.      Hubungan kerja menjadi rusak.
5.      Performa kerja menjadi menurun.
6.      Penolakan untuk berubah menjadi meningkat.
7.      Loyalitas dan komitmen pada organisasi dapat berpengaruh.
Dikarenakan oleh adanya dua sisi yang diakibatkan dari sebuah konflik, batasan dari suatu kondisi yang fungsional dan disfungsional harus dijabarkan. Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi hal ini. Pendekatan pertama adalah mengurangi atau menghindari konflik. Walaupun nilai dari konflik tersebut didiskusikan secara terbuka ditekankan (Jehn, 1997; Simons & Peterson, 2000). Para peneliti lainnya juga mendukung pendekatan ini bahwa konflik harus diminimalisasi atau dihindari dalam tempat kerja ketika konflik tersebut secara umum mempunyai konsekuensi yang negatif (cf. Jehn & Bendersky, 2003). Dikarenakan konflik itu tidak dapat dihindari pada tempat kerja, pendekatan ini dianggap tidak realistis (Leung & Tjosvold, 1998).
Pendekatan kedua adalah untuk mendorong satu tipe konflik berada diatas tipe konflik yang lainnya. Menurut Jehn (1995) mengidentifikasi konflik pada tugas dan konflik pada hubungan sebagai dua tipe konflik utama dalam tempat kerja. Konflik pada tugas terdiri dari beberapa pertentangan tentang pekerjaan dan perbedaan sudut pandang dan ide-ide tentang topik yang menarik atau keputusan. Dan konflik pada hubungan lebih kepada permasalahan personal dikarenakan oleh ketidakmampuan dalam kepribadian dan perilaku karyawan. Konflik pada tugas dapat menghasilkan hasil yang positif, sedangkan konflik pada hubungan dapat menghasilkan hasil yang negatif (Jehn & Bendersky, 2003; Simons & Peterson, 2000). Walaupun konflik pada tugas dapat menjadi penyebab konflik pada hubungan atau sebaliknya, hal tersebut tidak secara praktis dikatakan layak untuk mendorong konflik pada tugas sementara hal tersebut tidak mendorong konflik pada hubungan (Simons & Peterson, 2000).
Pendekatan ketiga adalah mengelola konflik. Jika konflik tersebut dikelola dengan cara yang sesuai, akan menghasilkan hasil yang menguntungkan (Chen, Liu, & Tjosvold, 2005; DeChurch & Marks, 2001; De Dreu & Weingart, 2003; Pondy, 1992; Putnam & Wilson, 1982). De Dreu dan Weingart (2003) menunjukkan pentingnya manajemen konflik dalam kelompok kerja. De Dreu dan Beersma’s (2005) juga berkomentar tentang karya ilmiah negara “disayangkan” hasilnya karena kurangnya perhatian pada pengaruh manajemen konflik terhadap hasil yang “lunak” seperti kepuasan, kesejahteraan dan kesehatan.

Klasifikasi Konflik
 
Menurut Rahim (2001) dalam bukunya konflik dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelas konflik berdasarkan kondisi antecedant yang menyebabkan konflik tersebut. Konflik berasal dari beberapa sumber, seperti task, nilai, tujuan, dan seterusnya. Untuk itu Rahim (2001) mengklasifikasikan konflik itu kedalam beberapa source of conflict, yaitu:
1.      Affective conflict, kondisi ini terjadi antara dua entitas sosial berinteraksi ketika sedang mencoba mencari solusi dari sebuah permasalahan secara bersama-sama, dimana secara psikologis berpengaruh terhadap perasaaan dan emosi mereka dalam proses pemecahaan sebuah problem yang ada maupun semua permasalahan yang ada. Oleh karena itu, Rahim (2001) juga menyebutkan bahwa klasifikasi konflik ini kedalam psychological conflict (Ross & Ross ,1989, p.139), relationship conflict (Jehn, 1997a), emotional conflict (Pelled, Eisenhardt, & Xin, 1999), dan interpersonal conflict (Eisenhardt, Kahwajy, & Bourgeois, 1997).
2.      Substantive conflict, kondisi ini terjadi ketika dua atau lebih anggota organisasi tidak sepakat dalam pekerjaan mereka atau dari permasalahan yang ada (Guetzkow & Gry, 1954). Klasifikasi konflik ini juga telah dikenal sebagai task conflict (Eisenhardt et al., 1997; Jehn, 1997a; Pelled et al., 1999), cognitive conflict (Amason, 1996; Cosier & Rose, 1977; Holzworth, 1983) dan issue conflict (Hammer & Organm 1978). Rahim (2001) menyimpulkan juga bahwa substantive conflict ini lebih bersifat kepada task atau masalah bisnis yang terkait dalam sebuah kondisi.
3.      Conflict of Interest, kondisi konflik ini lebih menggambarkan sebuah inconsistency antara dua kelompok dalam mengutarakan preferensi mereka kedalam sebuah resource. Tipe konflik ini sering terjadi ketika setiap kelompok berbagi kesepahaman bersama, mereka lebih suka pada hal yang berbeda sehingga solusinya tidak sesuai dengan masalah yang ada baik itu dalam masalah distribusi sumber daya ataupun keputusan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut (Druckman & Zechmeister, 1973).
4.      Conflict of Value, kondisi ini terjadi ketika dua entitas sosial memiliki perbedaan nilai dan ideologi dalam suatu permasalahan (Druckman, Broome, & Korper, 1988). Tipe konflik ini biasa disebut dengan ideological conflict.
5.      Goal conflict, konflik ini terjadi apabila hasil yang diinginkan dari dua entitas sosial tidak konsisten. Contohnya adanya pengertian dari dua orang manajer dalam menentukan desain pekerjaan yang akan diimplementasikan pada divisi mereka (Rahim, 2001).
6.      Realistic versus Nonrealistic Conflict, keadaan yang tidak realistis dalam konflik menurut Rahim (2001) merupakan hasil dari kebutuhan sebuah kelompok untuk melepaskan tensi dan mengekspresikan permusuhan, ketidakpedulian. Sedangkan konflik realistis di asosiasikan dengan hal yang rasional atau orientasi pada hasil.
7.      Institutionalized versus Noninstitutionalized Conflict, konflik ini awalnya memiliki karakteristik berdasarkan situasi dimana pelakunya mengikuti aturan yang explisit dan menampilkan perilaku yang dapat diprediksi dan hubungannya secara kontinu (Rahim, 2001).
8.      Retributive Conflict, karakteristiknya berdasarkan situasi dimana pihak yang bertentangan merasa perlu untuk memperpanjang konflik tersebut kepada lawannya. Dengan kata lain, masing-masing kelompok menentukan kenaikannya dengan cara menimbulkan biaya pada kelompok lainnya (Saaty, 1990, p.49).
9.      Missatributed Conflict, konflik ini berhubungan dengan penetapan yang salah atas penyebab yang menimbulkan konflik (Deutsch, 1977).
Displaced Conflict, tipe konflik ini terjadi ketika kelompok yang bertentangan baik itu secara langsung merasa frustasi kepada entitas sosial yang tidak terkait dalam konflik ini (Deutsch, 1977).

Level Konflik
 
Menurut Rahim (2001) konflik organisasional terdapat beberapa level yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intragroup, konflik intergroup.
Konflik intrapersonal ini juga dikenal sebagai konflik intra-individual atau intra-psikis. Konflik ini terjadi ketika anggota organisasi yang diharuskan untuk melakukan sebuah pekerjaan yang tidak sesuai dengan role, keahlian, value dan tujuan orang tersebut (Rahim, 2001).
Konflik interpersonal dikenal sebagai dyadic conflict yang merupakan konflik antara dua atau lebih individu dalam organisasi yang sama atau hirarki atau unit yang berbeda. Contohnya konflik antara atasan dan bawahannya (Rahim, 2001).
Konflik intragroup dapat dikenal sebagai konflik intra-departemen yang artinya konflik yang terjadi diantara anggota grup dalam organisasi, dua atau lebih sub-grup di dalam sebuah grup yang dihubungkan dengan hasil pekerjaan, tugas, prosedur, dan seterusnya. Beberapa konflik ini disebabkan oleh sebuah hasil dari ketidakmampuan dan ketidaksepahaman antar beberapa anggota organisasi atau seluruh anggota dan pemimpin grup tersebut (Rahim, 2001).
Konflik intergrup atau yang lebih dikenal dengan konflik inter-departemen merupakan konflik yang terjadi antara dua atau lebih unit atau grup didalam organisasi. Contohnya adalah konflik antara pihak manajemen dan pekerja, bagian produksi dan pemasaran, bagian keuangan dan operasi. (Rahim, 2001).

Gaya Penanganan Konflik
 
Dalam menangani sebuah konflik menurut Rahim dan Bonoma terdapat lima gaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi konflik tersebut yaitu integrating, obliging, dominating, avoiding dan compromising. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2.1 sebuah Two-Dimensional Model dalam menghadapi konflik interpersonal.

1.      Avoiding Style
Dalam karya doktoral I. A. Williams Ana Williams (2011) menjelaskan bahwa gaya manajemen konflik ini berarti orang tersebut mengetahui adanya konflik dan tindakan yang dilakukannya cenderung mengabaikan konflik tersebut (Robbins & Judge, 2010; Starks, 2006). Dengan menghindari konflik karyawan akan tetap dihadapkan dengan masalah tersebut dan tidak akan menemui jalan keluar untuk penyelesaian dari masalah tersebut (Lam et al., 2007). Gaya manajemen konflik ini memiliki tingkat concern for others yang rendah dan tingkat concern for self yang rendah juga. Hal ini menyebabkan karyawan tersebut pada situasi “lose-lose” (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004). Gaya avoidance ini juga dapat menstimulasi masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dan dipecahkan sehingga dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Gitlow & McNary, 2006). I. A. Williams juga menjelaskan bahwa menurut Starks gaya avoidance ini cepat dalam menyelesaikan permasalahan akan tetapi resolusi yang dihasilkan sifatnya sementara dan berpotensi untuk dapat berkembang lebih besar permasalahannya (Starks, 2006).
Menurut Rahim (2001), gaya manajemen konflik ini diasosiasikan dengan penarikan diri, tidak bertanggung jawab, menghindar dari masalah. Hal ini menyebabkan seseorang untuk menunda-nunda masalah sampai pada waktu yang lebih baik, atau hanya menghindar dari situasi yang tidak nyaman bagi dirinya. Gaya avoiding ini sering kali dikarakteristikkan sebagai perilaku yang tidak peduli terhadap issue dan konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi.
Kreitner & Kinicki (2010, p.388) juga mengemukakan bahwa gaya menghindar ini merupakan sebuah taktik yang mungkin melibatkan baik itu penarikan diri secara pasif dari permasalahan atau aktif dalam masalah tersebut. Gaya ini sungguh tepat dilakukan untuk permasalahan yang sepele atau ketika biaya konfrontasi lebih besar daripada manfaat dari penyelesaian konflik tersebut. Gaya ini juga tidak tepat digunakan untuk permasalahan yang sulit dan yang dapat memperburuk masalah. Keunggulan utama dari gaya ini adalah bahwa gaya ini menunda waktu atau situasi yang ambigu. Kelemahan utamanya adalah bahwa taktis ini hanya menawarkan solusi yang temporer dan mengenyampingkan inti permasalahannya.

2.       Compromising Style
Menurut I. A. Williams (2011), gaya manajemen konflik ini memiliki definisi sebagai suatu situasi ketika setiap kelompok yang berkonflik sepakat pada beberapa isu yang dihasilkan berdasarkan hasil kompromi (Robbins & Judge, 2010; Starks, 2006). Bekerja dalam sebuah kelompok atau tim itu sulit ketika sebuah konflik muncul. Salah satu metode untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan dapat diterima oleh semua pihak dalam sebuah kelompok adalah dengan cara mengkompromikan masalah tersebut hingga ada kata sepakat. Tim ini mampu bersinergi dan meningkatkan kerjasama tim dan menjadi produktif (Choudrie, 2005). Starks (2006) juga berpendapat bahwa gaya manajemen konflik ini dapat menghasilkan kepuasan sebuah kelompok, namun di lain pihak, permasalah tersebut dapat diabaikan. Gaya kompromi ini menunjukkan suatu kepedulian yang menengah pada diri sendiri dan orang lain sehingga menghasilkan situasi “no win – no lose” (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004). Pendekatan compromising ini tidak efektif digunakan dalam studi pada bidang  manufaktur dalam menciptakan pengembangan produk baru (Lam et al., 2007).
Menurut Rahim (2001) gaya compromising ini melibatkan give and take atau berbagi dimana kedua belah pihak memberikan sesuatu untuk membuat keputusan yang dapat diterima bersama. Ini mungkin berarti membagi perbedaan, pertukaran konsesi, atau mencari jalan tengah dengan cepat.
Kreitner & Kinicki (2010, p.388) juga mengemukakan bahwa gaya ini cocok digunakan ketika pihak yang berkonflik memiliki tujuan yang bertolak belakang atau menginginkan kekuatan yang sama. Tetapi gaya ini tidak cocok digunakan ketika dilakukan secara berlebihan dapat mendorong terjadinya ketidaksepakatan bersama, contohnya adalah gagal menemukan tenggak waktu yang penting. Keunggulan utama dari gaya ini adalah bahwa kompromi tidak ada yang merasa dikalahkan atau dirugikan, tetapi solusinya bersifat temporer yang dapat menahan pemecahan masalah secara kreatif.

3.      Dominating Style
Dalam I. A. Williams (2011), dominating style didefinisikan sebagai ketika pihak yang bersaing ingin berkuasa melalui paksaan terhadap pihak lain dan pihak tersebut mengalah (Starks, 2006). Gaya dominating ini termasuk kedalam kelompok concern for self yang tinggi dan concern for others yang rendah sehingga menghasilkan sebuah hasil yang “win-lose” (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004). Seseorang yang menggunakan gaya dominasi ini biasanya mengetahui performa rekan kerjanya. Mereka akan berusaha mengungguli rekan kerja mereka, sehingga mereka akan mengatasi konflik sebagai sebuah kompetisi bagi mereka. Oleh karena itu, orang akan melihat orang yang menggunakan gaya dominasi ini lebih sering berargumen dibanding menyatakan sebuah fakta (I. A. Williams, 2011).
Menurut Rahim (2001), orang yang mendominasi atau berkompetisi akan mengeluarkan segala kemampuannya untuk memenangkan obyektif dia dan sebagai hasilnya adalah sering mengabaikan kebutuhan dan harapan yang inginkan oleh pihak lainnya. Dominasi dapat memiliki arti sebagai berpegang teguh pada hak seseorang dan atau mempertahankan posisi pihak tersebut bahwa mereka adalah benar. Terkadang orang yang mendominasi ingin selalu menang dengan cara apapun. Seorang atasan yang mendominasi akan menggunakan kekuatan posisi dia untuk mempengaruhi keinginan bawahannya dan memerintahkan bawahannya untuk patuhi keinginannya.
Kreitner & Kinicki (2010, p.387) mengemukakan bahwa gaya manajemen konflik ini disebut forcing karena hal itu bergantung pada wewenang formal untuk memaksakan kepatuhan. Dominasi biasa digunakan ketika solusi yang tidak populer harus diimplementasikan, isu yang minor, tenggak waktu yang sudah dekat, atau menghadapi krisis. Kelemahan utama dari gaya dominasi ini biasanya menimbulkan kebencian.

4.      Integrating Style
Menurut I. A. Williams (2011) apabila karyawan dapat mengintegrasikan konflik yang ada di dalam tempat kerja akan menimbulkan suasana kerja yang menyenangkan. Setiap permasalahan proyek melibatkan penyelesaian masalah dan menemukan keinginan yang diinginkan oleh karyawan dan pelanggan. Gaya mengelola konflik dalam kelompok yang paling sesuai adalah gaya integrasi. Gaya ini didefinisikan sebagai ketika setiap orang berkolaborasi dan semuanya keinginan terpenuhi (Starks, 2006). Para peneliti juga setuju bahwa gaya manajemen konflik integrasi dalam tempat kerja memungkinkan pegawai untuk memberikan ide-ide kreatif yang lebih dan solusi dari permasalahan tersebut (Guttman, 2009; Rahim 2004).
Menurut I. A. Williams (2011), dalam sebuah studi terhadap staf perawat rumah sakit, gaya manajemen konflik kooperatif atau integrasi adalah salah satu cara untuk diasosiasikan dengan kepuasan kerja (Montoro-Rodriguez & Small, 2006). Gaya manajemen konflik ini dapat memberikan kontribusi yang efektif untuk top management teams dan inovasi organisasi (Tjosvold, 2006). Oleh karena itu, gaya integrasi ini menghasilkan hasil yang “win-win” dan menunjukkan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain yang tinggi (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004).
Karakteristik seseorang yang menggunakan gaya integrasi ini adalah dia menginvestigasi sebuah permasalahan untuk mencari solusinya kepada semua pihak (Rahim, 1983).
Menurut Rahim (2001), integrasi disebut juga sebagai gaya yang mencari solusi dari permasalahan. Hal ini melibatkan kolaborasi dari setiap pihak seperti keterbukaan, pertukaran informasi, pemeriksaan perbedaan-perbedaan untuk mendapatkan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Follet (1926/1940) juga menegaskan bahwa aturan pertama untuk melakukan integrasi adalah mengesampingkan permasalahan anda terlebih dahulu, hadapi permasalahan utama, mengungkap konflik, bawa semua hal lebih terbuka untuk dibicarakan (Rahim, 2001).
Gray (1989) menggambarkan hal ini sebagai mengkolaborasikan yaitu sebuah proses yang melalui dimana setiap pihak yang melihat dari sudut pandang yang berbeda secara kontrukstif mengeksplorasikan perbedaan mereka dan mencari solusi yang melebihi batas padangan mereka sendiri tentang apa yang bisa didapat (Rahim, 2001).
Kreitner & Kinicki (2010, p.386) mengemukakan bahwa pihak yang berkepentingan menghadapi masalah dan kooperatif untuk mengidentifikasi masalah, menghasilkan dan mempertimbangkan solusi alternatif, pilih solusi tersebut. Gaya manajemen konflik sesuai digunakan untuk masalah yang kompleks yang mengandung kesalahpahaman. Akan tetapi, mengintegrasikan tidak sesuai digunakan untuk menyelesaikan konflik yang berakar dalam menentang sistem.

5.      Obliging Style
Menurut I. A. Williams (2011), gaya manajemen konflik seperti ini didefinisikan sebagai suatu situasi dimana satu kelompok mengatur kepentingan mereka untuk memuaskan atau mengakomodasi kelompok lain (Starks, 2006). Gaya konflik untuk bersedia membantu ini menunjukkan kepedulian terhadap diri sendiri rendah dan kepedulian terhadap orang lain yang tinggi sehingga menghasilkan situasi yang “lose-win” (K. W. Chan et al., 2008; Lam et al., 2007; Rahim, 2004).
Menurut Rahim (2001), gaya konflik ini disebut juga sebagai gaya yang mengakomodasikan konflik. Gaya seperti ini diasosiasikan dengan berusaha untuk mengecilkan perbedaan dan menekankan kesamaan untuk memenuhi kepedulian dari pihak lain.
Kreitner & Kinicki (2010, p.387) mengemukakan bahwa orang yang mengakomodasikan masalah mengabaikan kekhawatiran dirinya sendiri untuk memenuhi keprihatinan orang lain. Gaya manajemen konflik yang biasa disebut smoothing ini melibatkan perasaan yang mengecilkan perbedaan sementara dengan menekankan kesamaan. Gaya ini sesuai digunakan sebagai strategi penanganan konflik ketika masalah tersebut memungkinkan untuk mendapatkan sesuatu sebagai imbalan pada akhirnya. Akan tetapi tidak sesuai digunakan untuk permasalahan yang kompleks atau yang memperburuk masalah.
Literatur mengenai konflik telah banyak menggunakan paradigma lima gaya tersebut diatas, tetapi hal ini telah diuji secara empiris sulit untuk membedakan antara gaya integrasi, obliging, dan kompromi (cf., Weider-Hatfield, 1988). Pada tingkat makro, integrasi, obliging, dan kompromi mungkin menunjukkan bahwa semua itu berkolaborasi dengan pihak lain seperti gaya kooperatif (De Dreu & Van de Vliert, 1997). Berbeda dengan gaya menghindari dan mendominasi, mengelola konflik dengan berkolaborasi dengan integrasi, membantu dan/atau kompromi dapat menyebabkan keefektifan individu dan tim lebih besar (De Dreu & Van de Vliert, 1997).

Referensi :
Al-Ajmi, R. S. (2007). “The effect of personal characteristics on conflict management style”. Competitive Review: An International Business Journal, 17(3), 181-192.


As’ad Mohammad. (2003). Psikologi Industri, Seri Ilmu Sumber Daya Manusia. Edisi Empat. Yogyakarta: Liberty.

Assael, H. (1969). Constructive role of interorganizational conflict. Administrative Science Quarterly, 573-82.

Baron, R. A., & Byrne, D. (1994). Social psychology: Understanding human interaction (7th ed.). Boston: Allyn & Bacon. (A Division of Simon & Schuster, Inc). 
Beersma, B.,& De Dreu, C.K. W. (2005). “Conflict's consequences: Effects of social motives onpost-negotiation creative and convergent group functioning and performance”. Journal of Personality and Social Psychology, 89, 358-374.  
Chan, K. W., Huang, X., & Ng, M. P. (2008). “Managers’ conflict management styles and employee attitudinal outcomes: The mediating role of trust. Asia Pacific Journal of Management, 25, 277-295.
Chen, G., Liu, C., & Tjosvold, D. (2005). “Conflict Management for Effective Top Management Teams and innovation in China”. Journal of Management Studies. 42(2), p.277-300. 
Choudrie, J. (2005). “Understanding the role of communication and conflict on reengineering team development”. Journal of Enterprise Information Management, 18(1/2), 64-78. 
De Dreu, C. K. W., & Van de Vliert, E. (1997). Using conflict organizations. London: Sage. 
De Dreu, C. K. W., & Weingart, L. (2003). “Task versus relationship conflict, team performance, and team member satisfaction: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 88, 741-749. 
DeChurch, L. A., & Marks, M. A. (2001). “Maximizing the benefits of task conflict: The role of conflict management. The International Journal of Conflict Management. 12, 4-22. 
Deutsch, M. (1969). ”Conflicts: Productive and destructive”. Journal of Social Issues, 25(1), 7-41. 
Gitlow, H., McNary, L. (2005). “Creating Win-win solutions for Team conflicts”. The Journal for Quality & Participation. 29(3). 20-26. 
Gibson, J., Ivancevich, J., Donnelly Jr., J., & Konopaske, R. (alih bahasa Djarkasih) (1995). Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Erlangga. Jakarta. 
Gutmann, H. M., (2009). “Conflict management as a core competency for HR professionals. People and Strategy, 32(1), 32-39. 
Hasibuan, Malayu S. P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Bumi Aksara, Jakarta. 
Jehn, K. A. (1995). “A multimethod examination of the benefits and determinants of intragroup conflict. Administrative Science Quarterly, 40, 256-282. 
Jehn, K. A. (1997a). “A qualitative analysis of conflict types and dimensions in organizational groups. Administrative Science Quarterly, 42, 530-557. 
Jehn, K. A., & Bendersky, C. (2003). “Intragroup conflict in organizations: A contogency perspective on the conflict-outcome relationship. Research in Organizational Behaviour, 25, 187-242. 
Karn, J. S., & Crawling, A. J. (2008). “Measuring the effect of conflict on software engineering teams. Behavior Research Methods,40(2), 582-589. 
Kelly, J., & Kelly, L. (1998). An existential-systems approach to managing organizations. Westport, CT: Quorum. 
Kreitner, R., & Kinicki, A. (2010). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill. 
Lam, P. K., Chin, K. S., & Pun, K. F. (2007). “Managing conflict in collaborative new product development: A supplier perspective. International Journal of Quality and Reliability Management. 24(9), 891-907. 
Leung, K., & Tjosvold, D. (1998). “Conflict for doing business in the Pacific Rim”. In K. Leung & D. W. Tjosvold (Eds.), Conflict management in the Asia Pacific. Singapore: Wiley.  
Montoro-Rodriguez, J., & Small, J. A. (2006). “The Role of Conflict Resolution Styles on Nursing Staff Morale, Burnout, and Job Satisfaction in Long-Term Care”. Journal of Aging and Health, 18, 385-406. 
Pelled, L. H., Eisenhardt, K. M., & Xin, K. R. (1999). “Exploring the black box: An analysis of work group diversity, conflict, and performance”. Administrative Science Quarterly, 44, 1-28.  
Pondy, L. (1992). “Reflections on Organizational conflict. Journal of Organizational Behavior, 25, 261-284. 
Putnam, L. L., & Wilson, C. E. (1982). Communicative strategies in organizational conflicts: Reliability and validity of a measurement scale. In M. Burgoon (Ed.), Communication Yearbook (Vol. 6, pp. 629-652). Beverly Hills, CA: Sage. 
Rahim, M. A. (1983). “A measure of styles of handling interpersonal conflict. Academy of Management Journal, 26, 368-376. 
Rahim, M. A. (2001). Managing Conflict in Organizations (3rd ed.). Westport, London: Quorum Books. 
Rahim, M. A. (2004). Rahim Organizational conflict inventories professional manual. (2nd ed.). Bowling Green, KY: Center for Advanced Studies in Management. 
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2010). Organizational behavior (14th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Prentice Hall. 
Simons, T., & Peterson, R. (2000). “Task conflict and relationship conflict in top management teams: The pivotal role of intragroup trust”. Journal of Applied Psychology, 85, 102-111. 
Starks, G. L. (2006). “Managing conflict in public organizations. Public Manager, 35(4), 55-60.  
Thomas, K. W. (1976). Conflict and Conflict management. In M. D.  Dunnette (Ed.). Handbook of industrial and organizational psychology (pp. 889-935). Chicago: Rand McNally. 
Thomas, K. W., & Schimdt, W. H. (1976). “A survey of managerial interest with respect to conflict. The Academy of Management Journal, 19, 315-318. 
Tjosvold, D. (2006). “Defining conflict and making choices about its management: Lightening the dark side of organizational life”. International Journal of Conflict Management. 17(2), 87-95.  
Weider-Hartfield, D., & Hartfield, J. (1995). “Relationships among conflict management styles, levels of conflict, and reactions to work”. Journal of Social Psychology, 135(6), 687-698. ProQuest. 
Williams, I. A. (2011). Conflict management styles and job satisfaction by organizational level and Status in a Private University. UMI number 3492567. ProQuest LLC. 
Wirawan (2009). Conflict Management. Jakarta: Salemba Humanika.  
Raditya, D. (2012). Analisis Pengaruh Manajemen Konflik dan Kepuasan Kerja pada Direktorat Jenderal Perkebunan - Kementerian Pertanian RI. Jakarta: Magister Manajemen Universitas Indonesia.